Swasembada Pangan versus Ketahanan Pangan
Pada level nasional pengertian ketahanan pangan telah
menjadi perdebatan selama tahun 1970 sampai tahun 1980an. Ketahanan
pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada produksi pangan
karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa menghasilkan
dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan
barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di
pasar internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi
pangan pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan
karena ada hambatan akses dan distribusi pangan Stevens et al.
(2000).
Keterbatasan konsep swasembada pangan ini
terjadi di Afrika pada pertengahan tahun 1980 dimana fokus peningkatan produksi
untuk mencapai swasembada justru menimbulkan adanya krisis pangan pada
masyarakat. Sehingga jelas bahwa ketersediaan pangan pada level nasional tidak
secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu
dan rumah tangga. (Borton and Shoham, 1991).
Stevens et al . (2000, dalam
Lassa, 2006) memberikan ilustrasi yang membedakan secara tegas antara
swasembada pangan dengan ketahanan pangan Bostwana, sebagai misal, sebagai
Negara dengan pendapatan perkapita sedang tapi mengalami defisit pangan yang
kronis karena minimnya lahan pertanian. Strategi ketahanan pangan nasionalnya
adalah swasembada tetapi akhirnya lebih berorientasi pada self-reliance. yang
mana secara formal mengesahkan kontribusi yang hakiki dari pangan import
terhadap ketahanan pangan nasional. Thompson dan Cowan (2000 dalam Lassa, 2006)
mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian formal ketahanan pangan dalam
kaitannya dengan globalisasi perdangan yang terjadi di beberapa Negara.
Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahahanan pangannya sebagai
swasembada 60% pangan nasional. Sisanya, 40% didapatkan dari import pangan.
Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh. Ini memberikan ilustrasi
yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda.
Amartya Sen berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap
berargumentasi bahwa ketidak-ketahanan pangan dan kelaparan adalah soal
produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai kasus di
India dan Afrika, Sen mampu menunjukan bahwa ketidaktahanan pangan dan
kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan bahkan ketika
produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Kasus gizi
buruk di Nusa Tenggara Barat adalah salah satu bukti (Lassa, 2006). Berdasarkan
kenyataan tersebut peneliti dan akademisi menyadari bahwa kerawanan pangan
terjadi dimana situasi pangan tersedia tetapi tidak mampu diakses rumah tangga
karena keterbatasan sumberdaya ekonomi yang dimiliki (pendapatan, kesempatan
kerja, sumberdaya ekonomi lainnya). Hal ini konsisten dengan pendapat Sen
(1981) bahwa produksi pangan bukan determinan tunggal ketahanan pangan, melainkan
hanyalah salah satu faktor penentu.
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan
praktis dan birokrat kurang memahami pengertian swasembada pangan dengan
ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut konsep ketahanan pangan
seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun penyediaan pangan
yang cukup.
Indikator Swasembada Pangan Ketahanan
Pangan
Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu Sasaran
Komoditas pangan Manusia Strategi Substitusi impor Peningkatan ketersediaan
pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan output Peningkatan produksi pangan Status gizi (penurunan :
kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk) Outcome Kecukupan pangan oleh produk
domestik Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi) Swasembada
pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah
nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu
untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.
Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus
mengalami perkembangan sejak
adanya Conference of
Food and Agriculture tahum
1943 yang mencanangkan konsep secure, adequate and suitable supply of food for everyone”. Definisi ketahanan pangan sangat
bervariasi, namun umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell
dan Frankenberger (1992) yakni “akses semua orang setiap saat pada pangan yang
cukup untuk hidup sehat (secure
access at all times to sufficient food for a healthy life). Studi pustaka yang dilakukan
oleh IFPRI (1999) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang
ketahanan pangan (Weingärtner, 2000). Berikut disajikan beberapa definisi
ketahanan yang sering diacu :
1.
Undang-Undang
Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau.
2. USAID (1992: kondisi ketika semua
orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk
memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.
3. FAO
(1997) : situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun
ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah
tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
4. FIVIMS
2005: kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan
ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan
kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi
kehidupan yang aktif dan sehat.
5. Mercy
Corps (2007) : keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses
fisik, sosial, dan ekonomi terhadap terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi
untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
1. Berorientasi
pada rumah tangga dan individu
2. Dimensi
watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
3. Menekankan
pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial
4. Berorientasi
pada pemenuhan gizi
5. Ditujukan
untuk hidup sehat dan produktif
Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7
Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik
dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan
pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai
berikut:
a. Terpenuhinya
pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan
dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan
untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin
dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan
manusia.
b. Terpenuhinya
pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia,
dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama.
c. Terpenuhinya
pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap
saat dan merata di seluruh tanah air.
d. Terpenuhinya
pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga
dengan harga yang terjangkau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar